Emisi Gas Rumah Kaca Terbukti Ditekan Melalui Program CSA Kementan

Emisi
Kepala BPPSDMP, Dedi Nursyamsi saat membuka Bimtek “Penguatan Kapasitas SDM Pertanian Mendukung Keberlanjutan CSA di Solo, Jawa Tengah”, Kamis (27/7/2023). (Sumber: Humas Kementan)

JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi fenomena El Nino yang diperkirakan berlangsung hingga Agustus nanti. Diantaranya dengan mempersiapkan berbagai upaya antisipasi adaptasi dan mitigasi El Nino di sektor pertanian yang siap dilaksanakan setiap daerah.  Kementan juga terus mendorong dan membantu petani dalam meningkatkan produktivitas sektor pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengatakan, saat ini tantangan pembangunan pertanian sangatlah besar. Selain, adanya perubahan iklim atau climate change, juga terjadi degradasi lahan, sarana produksi terbatas, khusus pupuk kimia kian mahal, produksi juga tidak efisien dengan penurunan produktivitas lahan.

Bacaan Lainnya

“Karena itu, sekarang ini kita tidak bisa lagi dengan cara lama, tapi harus sudah menggunakan cara baru dalam meningkatkan produksi pangan. Dengan jumlah penduduk kita mencapai 280 juta jiwa, hadirnya pertanian yang makin maju, makin modern dan mandiri akan sangat berarti. Karena penduduk Indonesia sangat besar,” ujar Mentan Syahrul.

Menyikapi perubahan iklim tak menentu, kata Mentan Syahrul, pelaku pertanian dituntut membuat pertanian agar lebih ramah lingkungan sekaligus berdapatasi dengan fenomena alam lainnya, sehingga produktivitas dan keragaman komoditi pertanian bisa dicapai.

Karena pertanian ramah lingkungan juga sejalan dengan pertanian berkelanjutan yang merupakan implementasi dari RPJMN Prioritas Nasional (PN) 6 tentang membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon, jelas Mentan Syahrul.

“Bentuk-bentuk penerapan pertanian ramah lingkungan antara lain pertanian cerdas iklim atau Climate Smart Agriculture (CSA), pertanian terintegrasi (integrated farming), serta pertanian organik,” imbuh dia.

Sementara itu, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDMP Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi pada pembukaan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penguatan Kapasitas SDM Pertanian Mendukung Keberlanjutan CSA di Solo, Jawa Tengah, Kamis (27/7/2023) mengatakan bahwa pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian yang mengelola seluruh sumber daya pertanian dan input usaha tani secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk mencapai produktivitas berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan dan berisiko rendah.

Selain itu pertanian ramah lingkungan merupakan teknik pertanian yang dalam pelaksanaannya menggunakan mikroorganisme menguntungkan serta bahan organik sehingga agroekosistem menjadi seimbang baik di bawah tanah maupun di atas tanah.

Kabadan Dedi menjelaskan, petani seringkali menggunakan pestisida maupun  pupuk kimiawi yang berlebihan dan berakhir pada hancurnya lingkungan yang kembali lagi berakibat pada pertanian.

Sektor pertanian ikut berkontribusi terhadap peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK). Sekalipun tidak besar, hanya sekitar 8 persen dari emisi sektor lain, hal ini harus menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan.

Emisi di sektor pertanian sejatinya berasal dari lahan sawah. Mengapa? karena lahan sawah yang tergenang menyebabkan kondisi tanah menjadi an aerob alias tidak ada oksigen. Sehingga munculah gas metan. Kontribusi emisi yang kedua berasal dari pemupukan. Terutama pemupukan yang berlebihan, menyebabkan efek gas rumah kaca di sektor pertanian, jelasnya.

“Maka dari itu CSA menjadi solusi yang amat nyata dalam mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca,” lanjut Kabadan. Sektor pertanian amat berperan dalam menekan EGRK. Sebab, aktivitas pertanian mampu mengubah paparan gas CO2 menjadi padat atau cair.

Ketika karbon ini berbentuk gas, maka amat sangat berbahaya dan menimbulkan berbagai efek negatif.  “Sementara kalau padat, tidak menyebabkan efek gas rumah kaca. Pertanian memiliki hal tersebut,” beber Dedi.

Dedi melanjutkan, mitigasi terhadap perubahan iklim harus dilakukan dari hal-hal yang paling kecil.  Mulai dari penggunaan pupuk organik, mengurangi penggunaan produk kimiawi, hingga lahan sawah dengan sistem tergenang. Khusus yang terakhir, penggenangan memang perlu untuk memaksimalkan penyerapan unsur hara, meminimalisir gulma atau tanaman pengganggu, tetap tidak dilakukan terus menerus. “Alternate Wetting and Drying atau penggenangan dan pengeringan menjadi solusi yang tepat karena terbukti menekan emisi GRK,” cetus Kabadan Dedi.

Kabadan Dedi berharap program CSA yang digulirkan sejak 2019 lalu menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi EGRK. CSA amat penting di dalam mengatasi perubahan iklim, menakan gas metan, dan tentunya mengakselerasi produktivitas para petani. Karena CSA ini meningkatkan produksi, efisiensi produksi, mitigasi emisi gas rumah kaca.

Hal senada diungkapkan Kepala Penyuluhan Pertanian, Bustanul Arifin Caya meminta para peserta Bimtek untuk tidak melihat CSA hanya sekadar teknologi saja.

“Tetapi spiritnya. Roh program ini juga. Bagaimana meningkatkan produktivitas ke dalam aspek pertanian. Pertanian berkelanjutan menjadi aspek penting CSA atau roh program ini,” kata Bustanul.

Bustanul menerangkan bahwa para penyuluh adalah garda terdepan program CSA. Itu karena mereka memiliki fungsi menjaga lingkungan, pembelajaran/pemberdayaan.

“Penyuluh sejatinya telah memahami lebih jauh terkait garis besar program CSA, bahkan sebelum ada program ini. Karena memang itu sudah menjadi keseharian mereka,” pungkasnya. (IS/NF)