Perencanaan Anggaran untuk Pemilu Coblos Caleg, KPU Harap Sistem Tidak Berubah

JAKARTA – Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengungkap lembaganya sudah membuat perencanaan anggaran pengadaan surat suara Pemilu legislatif 2024. Surat suara itu dirancang dengan sistem proporsional terbuka atau coblos nama caleg sesuai dengan aturan yang masih berlaku saat ini.

Hal itu disampaikan Hasyim dalam sidang etik di ruang sidang DKPP, Jakarta, Senin (27/2/2023). Hasyim mengatakan penyusunan rencana anggaran surat suara tersebut merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017.

Bacaan Lainnya

“KPU telah menyusun perencanaan anggaran cetak surat pada Pemilu 2024 yang mengacu pada sistem proporsional daftar calon terbuka sebagaimana diatur dalam pasal 168 ayat 2 UU Pemilu,” kata Hasyim.

Hasyim mengatakan anggaran Rp 803 miliar terbagi menjadi tiga. Di antaranya, jenis surat suara untuk pemilu DPR sebesar Rp 271.373.926.278. Jenis surat suara DPRD Provinsi sebesar Rp 271.373.926.278. Jenis surat suara DPRD Kabupaten/Kota sebesar Rp 261.114. 886.416.

“Total untuk anggaran biaya cetak surat suara untuk Pemilu 2024 adalah Rp 803.862.737.972,” ujar dia.

Hasyim mengatakan rencana anggaran surat suara tersebut mengacu kepada sistem proporsional terbuka. Dia menyebut surat suara itu akan memuat gambar partai, nomor urut partai, nomor urut caleg dan nama caleg setiap dapil.

“Perencanaan anggaran cetak suara sebagaimana dimaksud pada huruf C didasarkan pada ketentuan pasal 342 ayat 2 UU Pemilu yang pada pokoknya mengatur surat suara sebagaimana dimaksud pada pasal 341 ayat 1 huruf b untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota memuat tanda gambar parpol, nomor urut parpol, nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap dapil,” kata dia.

Sebagai informasi, Hasyim diadukan Muhammad Fauzan Irvan karena dinilai bersikap tidak mandiri, lantaran mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan tentang kemungkinan kembali ke sistem proporsional tertutup atau Pemilu coblos gambar partai. Pernyataan itu dinilai menciptakan kondisi yang tidak kondusif untuk pemilih.***