suarakarsa.com – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) menjadi salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia. Pada malam itu, sejumlah jenderal dan perwira TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh, jasad mereka ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pasukan elit pengawal presiden, Resimen Cakrabirawa, bersama Letkol Untung, kerap disebut terlibat dalam insiden tersebut.
Enam jenderal TNI AD dan satu perwira Angkatan Darat meninggal dalam peristiwa itu, yakni Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen D.I. Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, serta Kapten Pierre Tendean. Ketujuh korban tersebut kemudian diberi gelar Pahlawan Revolusi atas jasa mereka kepada bangsa dan negara.
Sejarah Resimen Cakrabirawa
Resimen Cakrabirawa merupakan Batalyon Kawal Kehormatan yang bertugas mengamankan Presiden Republik Indonesia, Soekarno, dan kediamannya. Pembentukan pasukan ini tidak lepas dari upaya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, salah satunya saat Idul Adha pada 14 Mei 1962 di Istana Negara.
Sebelumnya, Soekarno dijaga oleh Detasemen Kawal Pribadi dari Kepolisian dan Detasemen Pengawal Khusus. Namun, dua satuan itu dianggap tidak cukup untuk menjamin keselamatan Soekarno dan keluarganya, sehingga Resimen Cakrabirawa dibentuk. Cakrabirawa resmi berdiri pada 6 Juni 1962 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 211/Ptl/1962, dan diresmikan oleh Soekarno pada 6 Juli 1963 di Wina, Austria.
Resimen ini beranggotakan sekitar 3.000 personel dari semua unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian. Cakrabirawa terbagi menjadi tiga bagian utama: Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang menjaga presiden secara langsung, Detasemen Pengawal Chusus/Khusus (DPC) yang menjaga area kediaman presiden, serta Batalyon Kawal Kehormatan yang bertugas mengamankan presiden di Istana dan tempat kerja lainnya.
Peran Letkol Untung dalam Peristiwa G30S
Letnan Kolonel Untung Syamsuri, atau dikenal dengan nama samaran Koesman, adalah pemimpin Batalyon I Kawal Kehormatan dalam Resimen Cakrabirawa. Ia turut menjadi aktor kunci dalam pelaksanaan Gerakan 30 September (G30S).
Letkol Untung memiliki latar belakang militer yang panjang. Pada masa revolusi fisik, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Batalyon Soedigdo di Wonogiri, Jawa Tengah. Pada tahun 1948, saat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Untung sempat melarikan diri ke Jawa Tengah, kemudian bergabung kembali dengan TNI di bawah nama baru, Untung.
Setelah aktif dalam sejumlah operasi militer, termasuk Operasi Trikora pada 1963 untuk membebaskan Irian Barat, Untung mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dan naik pangkat menjadi letnan kolonel. Ia kemudian diangkat sebagai Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa.
Pada tahun 1965, isu adanya “Dewan Jenderal” yang berencana mengkudeta Presiden Soekarno mulai mencuat. Meskipun isu ini dibantah oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ahmad Yani, Batalyon I Cakrabirawa di bawah komando Letkol Untung tetap menjalankan Operasi Takari, yang kemudian diubah menjadi Gerakan 30 September. Untung dipilih untuk memimpin gerakan ini karena ia tidak dikenal luas, sehingga dianggap ideal untuk operasi yang bersifat rahasia.
Gerakan tersebut diduga mendapat perintah dari DN Aidit, pemimpin PKI, dengan dukungan dari Sjam Kamaruzaman, kepala Biro Chusus PKI. Sjam yang bertanggung jawab menyusun daftar nama-nama jenderal target dalam G30S, kemudian bekerja sama dengan Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief, dan Mayor Sujono untuk menjalankan aksi tersebut.
Dampak dan Peninggalan G30S
Peristiwa G30S menjadi pemicu runtuhnya kekuasaan PKI di Indonesia. Gerakan yang diawali oleh penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI Angkatan Darat itu memicu gelombang kemarahan besar di kalangan masyarakat dan TNI, yang pada akhirnya menghancurkan PKI sebagai kekuatan politik.
Peran Letkol Untung dan pasukan Cakrabirawa dalam G30S menjadi catatan sejarah yang membekas bagi Indonesia, sekaligus menjadi pengingat akan peristiwa-peristiwa kelam yang mewarnai perjalanan bangsa ini.
2 Komentar