JAKARTA – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 akan dilaksanakan pada tanggal 5-7 Agustus 2023 di Jakarta, Indonesia.

Salah satu isu dalam agenda KTT ASEAN itu ialah membahas topik pengarusutamaan Gender sebagaimana tertuang dalam Kerangka Kerja Strategis Pengarusutamaan Gender ASEAN (AGMSF).

DPR RI sebelumnya mendorong keterlibatan 30 persen perempuan di parlemen ASEAN dalam Sidang Coordinating Committee of Women Parliamentarians of ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (WAIPA) atau Komite untuk Perempuan Parlemen AIPA yang digelar di Padang, Sumatera Barat, bulan Juni lalu.

Diketahui sebelumnya Bapak Presiden Joko Widodo pernah menyarankan lima isu tentang perempuan untuk KTT ASEAN 2023 yaitu peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender, peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta penurunan pekerja anak, dan pencegahan perkawinan anak.

Menanggapi hal itu Ketua Komisi Perempuan dan Anak PB HMI MPO Periode 2023-2025, Fitri Achmad mengungkapkan bahwa issu pengarusutamaan gender itu tidak terlalu menyentuh sejumlah persoalan yang ada.

Pernyataan itu disampaikan mengingat pentingnya pemberdayaan bagi perempuan ex TKW di Indonesia yang masih menjadi catatan kelam hingga saat ini.

“Seharusnya KTT 2023 kali ini bukan sekedar membahas Isu Strategis Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender saja tapi, bagaimana meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai Bidang Pembangunan dan Perlindungan perempuan dari berbagai Tindak Kekerasan termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO); dan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perlindungan Perempuan dari berbagai Tindak Kekerasan, ini menjadi sebuah tantangan dalam Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender khususnya di Indonesia” Kata Fitri Achmad kepada wartawan di Jakarta, 02/09

Tak hanya itu, Fitri juga menjelaskan Indonesia hingga saat ini sedang meminimalisir beberapa isu. Salah satu yang masih hangat di bicarakan adalah stunting dan kekerasan terhadap perempuan dan anak dimana stunting di Indonesia mencapai 21,6% di 2022. “Walaupun stunting agak menurun dari tahun sebelumnya tetapi, masih perlu untuk di perhatikan. Sebab upaya Indonesia dinilai belum optimal dalam upaya itu.” Ujarnya

Lebih lanjut Fitri menyampaikan pada tahun 2019 jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebesar 431.471, jumlah ini meningkat 6% dibandingkan jumlah kasus KtP pada tahun sebelumnya sebesar (406.178) Dari 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, sekitar 58% adalah kekerasan seksual, yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).

“Kita ketahui bersama bahwa kasus perempuan tidak terlalu ke masalah gender, masih banyak kasus lainnya yang lebih prioritas salah satu kasus kekerasan. bagaimana mau maju bangsa ini jika perempuan masih di diskriminasi dengan tindakan kekerasan yang membuat hilangnya kesetaraan gender, kemandirian dan melakukan tanggung jawabnya sebagai perempuan, karena itu negara-negara ASEAN perlu didorong untuk membentuk institusi HAM Spesifik dan mencari solusi terkait isu perempuan.” Tambah Fitri

Demikian PB HMI MPO kata Fitri menawarkan beberapa solusi yang harus diperhatikan dalam agenda KTT 2023 kali ini diantaranya ialah perlunya penguatan kualitas regulasi tentang keperempuanan, meningkatkan kapasitas lembaga layanan di daerah secara khusus untuk pencatatan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan serta memastikan alokasi anggaran di daerah terluar, terdalam, tertinggal dan daerah-daerah kepulauan.

“Ketiga menyusun sistem perlindungan dan pemulihan terhadap perempuan korban Kekerasan Berbasis Gender Siber, Menyusun media pendidikan masyarakat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan berbasis daring.” pungkasnya