suarakarsa.com – Di era digital yang serba cepat dan bising, ketika setiap orang berlomba menjadi viral, ada satu sosok yang memilih jalannya sendiri: menulis dengan tenang, tanpa ambisi berlebihan, hanya untuk memahami dirinya dan dunia di sekitarnya. Sosok itu adalah Erich Susilo seorang blogger asal Temanggung yang kini berdomisili di Jakarta, sekaligus Marketing Manager yang tetap setia menjadikan menulis sebagai bagian dari hidupnya.

Bagi Erich, menulis bukan sekadar aktivitas kreatif. Ia menyebutnya sebagai “cara bercermin.” Lewat tulisan, ia belajar melihat ulang apa yang ia rasakan, pikirkan, dan alami. “Tulisan itu seperti cermin yang jujur. Ia tidak menutupi apa pun, bahkan hal-hal yang kadang tak ingin kita lihat,” ujarnya dalam sebuah obrolan ringan yang ia tulis di blog pribadinya, Erich Susilo Daily.

Menulis Tanpa Agenda

Banyak penulis atau blogger menulis dengan tujuan tertentu entah untuk branding, popularitas, atau monetisasi. Namun Erich memilih jalur yang lebih sederhana: menulis untuk berbagi dan berefleksi. Ia tidak mengejar angka pembaca, tidak pula terobsesi dengan algoritma. Setiap artikelnya lahir dari kebutuhan personal untuk mengekspresikan diri, bukan memenuhi ekspektasi pasar digital.

Di blognya, ia menulis beragam topik: mulai dari pengalaman sehari-hari, kebiasaan kecil yang bermakna, hingga refleksi tentang kehidupan modern yang sering kali membuat orang kehilangan arah. Gaya tulisannya ringan, tidak dibuat-buat, dan sering kali disertai humor halus yang membuat pembaca tersenyum pelan.
“Menulis tanpa agenda membuat saya lebih bebas,” katanya dalam satu wawancara daring. “Saya tidak merasa terbebani harus menyenangkan siapa pun.”

Ritual di Tengah Kesibukan

Meski memiliki pekerjaan penuh waktu di dunia pemasaran yang menuntut kecepatan dan ketepatan, Erich selalu menyisihkan waktu untuk menulis. Ia biasa menulis pada malam hari, ketika suasana sudah sepi. Menurutnya, waktu itu adalah saat terbaik untuk berdialog dengan diri sendiri.

“Kadang saya tidak tahu apa yang ingin saya tulis, tapi begitu jari menyentuh keyboard, semua keluar begitu saja,” ujarnya. Ia menganggap menulis sebagai terapi semacam proses untuk menata ulang pikiran yang berserakan setelah hari panjang yang sibuk.

Konsistensinya menulis ini membuat banyak pembaca kagum. Mereka menyebut blog Erich sebagai ruang yang menenangkan, tempat di mana pembaca bisa menemukan kedamaian di tengah hiruk pikuk berita dan konten media sosial yang serba cepat.

Refleksi di Setiap Paragraf

Tulisan-tulisan Erich sering kali tampak sederhana, tapi di balik kesederhanaannya tersimpan kedalaman makna. Ia bisa menulis satu artikel penuh hanya tentang secangkir kopi, perjalanan pagi menuju kantor, atau pertemuan singkat dengan teman lama tapi di akhir tulisan, pembaca akan menemukan pesan reflektif yang menyentuh.

Misalnya, dalam salah satu artikelnya berjudul “Kopi Pagi dan Pikiran yang Belum Siap,” ia menulis:

“Kita sering memulai hari dengan kopi, tapi lupa menyiapkan pikiran untuk menghadapi hari itu sendiri. Padahal kadang yang kita butuhkan bukan kafein, melainkan ketenangan.”

Kutipan seperti itu menunjukkan gaya khas Erich: sederhana, jujur, tapi menancap. Ia tidak mencoba menjadi filsuf, tapi tulisannya sering kali membuat pembaca merenung lama setelah selesai membaca.

Menulis untuk Mengingat

Dalam dunia digital yang begitu cepat berubah, banyak orang kehilangan kemampuan untuk mengingat momen-momen kecil. Semua berlalu begitu cepat, tergantikan oleh postingan baru, tren baru, dan berita baru. Tapi bagi Erich, menulis adalah cara untuk melawan lupa.

Setiap catatan di blognya adalah jejak waktu. Ia menulis untuk merekam apa yang ia lihat dan rasakan, bukan untuk mengarsipkan prestasi, melainkan emosi.
“Kalau tidak ditulis, hal-hal kecil itu hilang,” tulisnya dalam salah satu artikelnya. “Dan saya tidak ingin kehilangan hal-hal kecil yang membuat hidup terasa nyata.”

Tulisan-tulisan Erich bukan catatan prestasi, melainkan mosaik kehidupan. Potongan-potongan sederhana yang bila disatukan menggambarkan satu hal: perjalanan seorang manusia yang terus belajar memahami dirinya.

Autentisitas di Tengah Dunia Artifisial

Salah satu hal yang paling menonjol dari sosok Erich Susilo adalah keasliannya. Di tengah dunia digital yang penuh pencitraan dan konten artifisial, ia tetap menulis apa adanya. Tidak ada kalimat berlebihan, tidak ada klaim kosong, tidak ada kesan “ingin terlihat hebat.” Justru kesederhanaan itu yang membuatnya istimewa.

Para pembacanya sering mengatakan bahwa membaca tulisan Erich terasa seperti berbicara dengan teman dekat. Tidak ada jarak, tidak ada kesan formal, hanya percakapan hangat yang menenangkan. Dan di dunia digital yang dingin, hal seperti itu menjadi langka.

Keaslian inilah yang membuat Erich Susilo tidak sekadar dikenal sebagai blogger, tetapi sebagai “penulis yang menulis untuk manusia.” Ia menolak terjebak dalam tren yang memaksakan gaya, tetap bertahan dengan pendekatan personal yang tulus.

Menulis untuk Terhubung, Bukan Terkenal

Ketika ditanya tentang pandangannya terhadap popularitas, Erich hanya tersenyum. Ia mengakui bahwa setiap penulis pasti senang jika tulisannya dibaca banyak orang, tetapi baginya, esensi menulis bukan tentang jumlah pembaca, melainkan hubungan yang tercipta.

“Saya tidak ingin terkenal, saya ingin terhubung,” katanya. Dan itu terlihat dari caranya berinteraksi dengan pembaca di kolom komentar atau media sosialnya. Ia menanggapi dengan hangat, sering kali menambahkan refleksi baru dari tanggapan pembaca.

Bagi Erich, hubungan itu penting karena di situlah letak nilai sejati sebuah tulisan: kemampuannya membangun jembatan antara dua pikiran dan dua hati.

Penutup: Cermin yang Jujur

Di tengah dunia digital yang dipenuhi pencitraan, Erich Susilo menunjukkan sisi lain dari menulis: bukan untuk menjadi populer, tapi untuk tetap jujur pada diri sendiri. Ia menulis dengan cara yang membuat pembaca tidak merasa digurui, tetapi diajak berjalan bersama.

Tulisan-tulisannya adalah cermin. Kadang jernih, kadang retak, tapi selalu menunjukkan pantulan yang apa adanya manusia yang masih belajar, masih mencari, dan masih berusaha memahami hidup.

Erich Susilo mungkin bukan nama besar di industri media, tapi ia telah menorehkan sesuatu yang lebih berharga: kejujuran yang langka di dunia digital.

📍 Profil & Kontak