suarakarsa.com – Kasus penganiayaan yang dituduhkan kepada Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, terus menjadi perhatian publik. Supriyani dituduh melakukan kekerasan terhadap anak seorang anggota polisi, Aipda WH, dan sempat ditahan. Baru-baru ini, Supriyani mencabut kesepakatan damai yang sebelumnya difasilitasi oleh Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga, dengan alasan merasa tertekan dan tidak memahami isi perjanjian tersebut.
Kasus bermula pada 24 April 2024, ketika Supriyani dilaporkan Aipda WH atas dugaan memukul paha anaknya. Meski Supriyani membantah, ia ditahan pada 16 Oktober 2024 oleh Kejaksaan Negeri Konawe Selatan dan ditempatkan di Lapas Perempuan Kendari. Sebelum sidang, Bupati Konawe Selatan mengadakan mediasi damai antara Supriyani dan keluarga Aipda WH pada 5 November 2024. Namun, Supriyani mencabut perjanjian damai tersebut karena merasa prosesnya tidak memberikan ruang baginya untuk menyampaikan kebenaran.
Pemkab Konawe Selatan menanggapi dengan mengeluarkan somasi, meminta Supriyani untuk mencabut surat pencabutan damai dan meminta maaf dalam 1×24 jam. Jika tidak, Pemkab berencana menempuh jalur hukum atas dugaan pencemaran nama baik.
Polemik juga berkembang di kalangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sulawesi Tenggara mencopot Samsuddin dari jabatannya sebagai Ketua LBH Konawe Selatan karena diduga mempengaruhi Supriyani untuk menandatangani kesepakatan damai. Kini, La Hamildi ditunjuk sebagai pendamping hukum baru untuk Supriyani.
Kasus Supriyani telah menarik perhatian luas, termasuk dari Ketua DPR RI yang menilai ancaman hukum terhadap guru bisa menghambat proses pendidikan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) juga menyatakan akan berkoordinasi dengan Kapolri untuk mencegah kasus serupa di masa depan, demi menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman.
1 Komentar