suarakarsa.com – Kabar mengejutkan datang dari media sosial, menyebut Harvey Moeis, tersangka korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, dan istrinya, selebritas Sandra Dewi, terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Kelas 3 BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung oleh pemerintah daerah. Fakta ini memicu pertanyaan publik tentang keadilan dalam sistem tersebut.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, membenarkan bahwa nama pasangan tersebut tercatat dalam segmen PBI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Hasil pengecekan data, nama yang bersangkutan masuk ke dalam segmen PBPU Pemda (nomenklatur lama PBI APBD) Pemprov DKI Jakarta,” kata Rizzky kepada media, Minggu (29/12/2024).

Rizzky menjelaskan, PBI APBD berbeda dengan PBI Jaminan Kesehatan (JK) dalam hal kriteria penerima. PBI APBD tidak terbatas hanya untuk masyarakat miskin, tetapi juga dapat mencakup seluruh penduduk daerah yang belum terdaftar dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Iuran peserta PBI APBD dibayarkan oleh pemerintah daerah menggunakan APBD.

“Pada segmen ini, persyaratannya tidak harus fakir miskin maupun orang yang tidak mampu, melainkan seluruh penduduk suatu daerah yang belum terdaftar sebagai peserta Program JKN dan bersedia diberikan hak kelas 3,” jelas Rizzky.

Sebaliknya, PBI JK hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Iuran peserta PBI JK dibayarkan oleh pemerintah pusat melalui APBN.

Publik mempertanyakan mekanisme penetapan nama peserta PBI APBD, mengingat gaya hidup Harvey Moeis dan Sandra Dewi yang dikenal mewah. Menanggapi hal ini, Rizzky menegaskan bahwa BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan atau memverifikasi data peserta.

“Nama-nama yang termasuk dalam segmen PBPU Pemda ini sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” tegasnya.

Menurut Rizzky, BPJS Kesehatan hanya menerima data yang diberikan oleh pemerintah daerah tanpa proses verifikasi tambahan. Hal ini menimbulkan perdebatan publik tentang perlunya peninjauan ulang mekanisme pendaftaran peserta PBI APBD untuk memastikan keadilan dan akurasi penerima manfaat.

Kasus ini menambah daftar panjang sorotan terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan program sosial pemerintah.