suarakarsa.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyatakan pihaknya tengah melakukan kajian mendalam terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini diambil sebagai upaya antisipatif agar regulasi baru tersebut tidak melemahkan tugas dan wewenang lembaga antirasuah.

“Kami baru saja menggelar diskusi bersama Koalisi Masyarakat Sipil dan para akademisi. Ini merupakan bagian dari proses untuk mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi menghambat atau mengurangi ruang gerak KPK,” ujar Setyo saat memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Menurut Setyo, KUHAP merupakan landasan utama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh sebab itu, substansi RUU tersebut harus benar-benar menyesuaikan dengan konteks hukum dan kebutuhan penegakan keadilan saat ini.

“Kami sepakat bahwa pembahasan RUU ini tidak boleh lepas dari realitas sosial dan dinamika hukum yang ada. RUU harus adaptif namun tetap memperkuat lembaga penegak hukum, bukan sebaliknya,” tegasnya.

Ia menambahkan, hasil kajian yang dilakukan KPK akan disampaikan kepada pemerintah dan DPR. Tujuannya adalah agar pengambil kebijakan memahami sejumlah poin krusial dalam RUU KUHAP yang dianggap berpotensi menghambat fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Berikut 17 poin krusial yang disorot KPK dalam draf RUU KUHAP:

  1. Lex Specialis UU KPK Diabaikan: RUU dianggap menghapus kekhususan yang dimiliki UU KPK dalam penanganan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

  2. Pembatasan Dasar Penanganan Perkara: RUU menekankan hanya KUHAP sebagai dasar, mengabaikan UU Tipikor dan UU KPK.

  3. Penyelidik Non-Polri Tidak Diakui: Keberadaan penyelidik KPK tidak disebutkan, seolah hanya Polri yang berwenang.

  4. Definisi Penyelidikan Terbatas: Penyelidikan dibatasi pada pencarian peristiwa pidana, bukan pengumpulan alat bukti seperti praktik KPK selama ini.

  5. Pembatasan Alat Bukti Keterangan Saksi: Alat bukti hanya diakui jika didapat saat penyidikan ke atas, tidak termasuk tahap penyelidikan.

  6. Penetapan Tersangka Tak Sejalan dengan UU KPK: RUU KUHAP mempersyaratkan dua alat bukti di tahap penyidikan, tidak mengakui dua alat bukti dari tahap penyelidikan.

  7. Penghentian Penyidikan Harus Libatkan Polri: Padahal, penghentian oleh KPK telah diatur secara independen dalam UU KPK dan putusan MK.

  8. Penyerahan Berkas Melalui Penyidik Polri: Hal ini dianggap menyulitkan penanganan perkara oleh KPK yang bersifat mandiri.

  9. Penggeledahan Harus Didampingi Polri: Ketentuan ini dinilai menghambat efektivitas operasi lapangan KPK.

  10. Izin Pengadilan untuk Penyitaan: Dalam UU KPK, penyitaan tidak membutuhkan izin Ketua Pengadilan Negeri.

  11. Penyadapan Dibatasi: RUU menambahkan syarat izin pengadilan, bertentangan dengan praktik KPK yang dilaporkan ke Dewan Pengawas.

  12. Pencegahan Keluar Negeri Hanya untuk Tersangka: Selama ini KPK dapat mencegah saksi bepergian ke luar negeri.

  13. Praperadilan Menghentikan Pokok Perkara: Ketentuan ini bisa menunda penyidikan perkara besar korupsi.

  14. Perkara Koneksitas Tak Diatur: KPK menilai pentingnya pengaturan kewenangan koneksitas yang selama ini dijalankan.

  15. Perlindungan Saksi Terbatas pada LPSK: Padahal, KPK juga berperan dalam perlindungan saksi dan pelapor.

  16. Penuntut Harus Ditunjuk Jaksa Agung: Dalam praktiknya, penuntut KPK diangkat langsung oleh KPK untuk seluruh wilayah Indonesia.

  17. Kewenangan Penuntut Umum Tidak Tegas: KPK meminta penyebutan eksplisit bahwa jaksa di KPK merupakan bagian dari penuntut umum.

Setyo menegaskan bahwa KPK tetap berkomitmen memperkuat kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pembahasan RUU ini, agar tidak terjadi pelemahan terhadap fungsi pemberantasan korupsi di tanah air.