suarakarsa.com – Meski dinonaktifkan partainya akibat pernyataan kontroversial, sejumlah anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Adies Kadir, secara hukum masih berstatus sah sebagai anggota DPR RI. Demikian ditegaskan pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Menurut Titi, penonaktifan oleh partai bukanlah keputusan hukum, melainkan hanya langkah politik internal yang tidak otomatis mengubah status keanggotaan di parlemen.
“Istilah ‘nonaktif’ memang ada dalam UU MD3, tapi konteksnya sangat spesifik, hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD),” ujar Titi kepada wartawan, Senin (1/9).
Titi menjelaskan bahwa penonaktifan anggota DPR oleh partai belum bisa dijadikan dasar hukum. Status legislator hanya bisa berubah melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW), bukan sekadar pernyataan politik.
“Ketika partai menyatakan menonaktifkan kadernya, itu belum menyentuh mekanisme hukum. Secara legal, mereka tetap anggota DPR sampai proses PAW dijalankan,” kata Titi.
PAW sendiri diatur dalam Pasal 239 UU MD3 dan hanya dapat dilakukan jika anggota yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan dengan alasan sah, misalnya melanggar sumpah jabatan, tidak hadir tiga bulan tanpa keterangan, hingga pindah partai.
Titi menilai penggunaan istilah “nonaktif” yang tidak sesuai dengan aturan hukum justru membingungkan publik dan berpotensi menyesatkan persepsi.
“Istilah itu tidak ada dasarnya untuk anggota DPR secara umum. Jadi ini bisa menciptakan kesan seolah-olah mereka sudah bukan wakil rakyat, padahal belum ada dasar hukum yang mengubah statusnya,” katanya.
Menurut Titi, untuk menjaga akuntabilitas, langkah terbaik adalah pengunduran diri secara sukarela dari legislator yang telah kehilangan kepercayaan publik.
“Saya lebih mendorong mereka untuk mundur. Partai politik pun harus berani meminta maaf secara terbuka dan melakukan evaluasi besar-besaran atas kualitas kadernya di parlemen,” tegasnya.
Penonaktifan sejumlah anggota DPR muncul di tengah krisis kepercayaan publik menyusul aksi protes besar-besaran sejak 25 Agustus 2025. Aksi massa dipicu oleh tingkah laku anggota DPR yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat, termasuk berjoget di tengah kesulitan dan membela tunjangan mewah.
Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, dan Golkar menonaktifkan Adies Kadir.
Titi juga mengusulkan wacana “recall oleh konstituen”, yakni mekanisme pemberhentian legislator langsung dari pemilih, bukan hanya oleh elite partai. Menurutnya, cara ini lebih adil dan langsung mewakili suara rakyat.
“Wakil rakyat seharusnya bisa dicopot oleh rakyat, bukan hanya menunggu keputusan partai. Ini perlu didorong sebagai reformasi parlemen ke depan,” pungkas Titi.
Tinggalkan Balasan