Gandjar melanjutkan, adanya transaksi keuangan mencurigakan (TKM) bukan berarti ada TPPU. Dia menjelaskan, TKM hanya pintu adanya indikasi TPPU. Menurutnya, hal inilah yang menjadi kekurangan TPPU: perlu ada TPA sebagai cantolannya.
“Di sinilah kekurangan TPPU yaitu tetap perlu TPA padahal mengaitkan TPA dan mencuci hasilnya bukan pekerjaan mudah meski juga nggak sulit-sulit amat. Yang nggak logis kalo nggak nemu TPA-nya sementara orang sudah dihukum dengan TPPU. Padahal hukum itu logis-sistematis. Sebagai sebuah kejahatan yang sudah diatur UU saya juga pingin banget TPPU itu bisa berdiri sendiri, tapi riwayat dan konsepnya nggak gitu. Kecuali kita mau menyampingkan riwayatnya dan menyusun konsep baru. Ya ayo,” ungkap Gandjar.
“Jadi menurut saya skemanya begini: kalau PPATK nemu dugaan TPPU, hasil lidiknya kasih ke APH, terus APH lidik dulu predicate crime-nya, setelah nemu lanjut sidik predicate crime-nya, baru si APH sidik TPPU-nya. Kalo APH penemu TPPU-nya? Nggak mungkin. APH pasti nemu tindak pidana, terus cari ada TPPU-nya nggak. Kalau nemu TPPU-nya maka otomatis jadi Penyidik TPPU-nya juga. Karena kata UU, Penyidik predicate crime berwenang menyidik TPPU-nya. Jangan terbolak-balik,” imbuh dia.(SW)
Tinggalkan Balasan