JAKARTA – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta secara resmi mencabut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/ Menhut- II/2014, tanggal 18 Juni 2014 tentang IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) untuk Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjang lainnya pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atas nama PT. Gema Kreasi Perdana selaku anak perusahaan PT Harita Group yang beroperasi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dalam putusan PTUN Jakarta pada Selasa, 12 September 2023 itu PT GKP melanggar Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undangan-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketua Komisi Agraria, Pengelolaan SDA dan Mineral PB HMI, Ali Aludin Hamzah mengatakan harusnya kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii dihentikan tanpa terkecuali sejak adanya putusan PTUN Jakarta tentang pencabutan IPPKH anak perusahaan PT. Harita Group.
Bahkan menurutnya jauh sebelum putusan PTUN jakarta, kegiatan pertambangan di pulau Wawonii harusnya tidak dapat dilakukan mengingat Undangan-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Namun sayang, tambah Ali Undang-undang itu sama sekali diabaikan oleh pemerintah ditandai dengan pemberian IPPKH Kegiatan Operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjang lainnya kepada PT. Gema Kreasi Perdana yang duga abal-abal atau tidak memenuhi syarat eksplorasi maupun syarat pengoperasiannya.
“parahnya lagi sejak putusan PTUN itu, pihak PT Harita Group melalui anak perusahaannya sebagaimana laporan yang kami terima masih beroperasi dan lagi-lagi mengabaikan kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan warga setempat. Demikian menunjukan sikap pembangkang dan arogansi PT Harita Group terhadap negara.”Katanya dalam rilis kepada wartawan di Jakarta, senin, 25/09/2023.
Tak berbeda jauh dengan masalah di Pulau Wawoni, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, Ali juga mengungkap masalah yang terjadi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Mahasiswa kelahiran Maluku Utara itu juga mengatakan pertambangan di Pulau Obi memasuk fase yang sangat memprihatikan dampak dari kegiatan pertambangan PT Harita Group.
“Betapa tidak ekspansi PT Harita Group melalui anak perusahaannya dalam menambang nikel di Pulau Obi terlihat ugal-ugalan sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan hebat pada masyarakat sekitar pertambangan. Tercatat hampir setiap hari ada anak-anak kecil dan dewasa dibawa ke fasilitas kesehatan desa dimana sebagian besar dari anak-anak itu terinfeksi saluran pernapasan akut (ISPA).” Tambah Ali
Parahnya lagi lanjut Ali kerusakaan hutan dan lingkungan menjadi salah satu alasan rencana relokasi PT Harita Group terhadap pemukiman warga desa kawasi ke tempat tinggal baru mereka. meskipun warga kawasi sebetulnya lebih dulu mendiami wilayah itu sebelum masuknya kegiatan Pertambangan PT Harita group.
“Demikian terkesan seperti tindakan pemindahan paksa warga dengan cara merusak ruang hidup warga kawasi beserta hak-hak mereka termasuk hak atas tanah, hak mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.” ujar Ali
Ekspansi PT Harita Group dalam industri nikel di Indonesia menurut Ali terkesan mempertontonkan adanya komunitas kebal hukum yang membangkang terhadap negara akibat ketidaktegasan pemerintah itu sendiri.
Menunjukan ada yang tidak beres terjadi dalam agenda pertambangan, kehutanan dan lingkungan hidup. “Pemerintah cenderung tidak bertanggungjawab atas keputusan yang telah dibuat dan bahkan melakukan pembiaran terhadap kegiatan PT Harita Group yang disinyalir abal-abal alias menabrak ketentuan dan kaidah-kaidah pertambangan yang ramah lingkungan. Parahnya lagi hampir tak terlihat langkah-langkah mitigasi yang berkelanjutan oleh pemerintah termasuk mendukung pemulihan sosial, kesehatan dan lingkungan hidup warga sekitar pertambangan akibat dampak dari industri PT Harita Group.” tuturnya
Ali menyampaikan berdasarkan Investigasi PB HMI MPO pada dua wilayah itu yakni Pulau Wawonii dan Obi yang dipakai oleh PT Harita Group untuk kegiatan operasi produksi pertambangan nikel menunjukan telah terjadi konflik sosial, penguasaan dan penggunaan lahan masyarakat setempat secara sepihak yang secara langsung mengubah lingkungan hidup termasuk penggundulan hutan, erosi, kontaminasi terhadap air, perubahan profil tanah, meningkatnya debu dan emisi, serta adanya pelemahan praktik tradisional masyarakat adat lingkar tambang diduga disebabkan oleh kegiatan pertambangan PT Harita Group.
Tak hanya itu PB HMI MPO juga menemukan adanya kejanggalan dalam kerja sama Harita Group dengan Pemerintah perihal kewenangan penerbitan izin dan kegiatan paska tambang dimana diduga terdapat kejahatan pidana didalamnya.
“diduga penerbitan IPPKH oleh pemerintah tidak memiliki kajian dampak lingkungan yang komprehensif serta menabrak kaidah-kaidah pertambangan, diperburuk oleh minimnya evaluasi pemerintah terhadap lingkungan dan kegiatan pertambangan PT Harita Group.” tegas Ali.
Dengan demikian PB HMI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan seluruh aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Harita Group melalui anak perusahaannya serta mencabut seluruh Izin atasnya karena menyebabkan kerusakan lingkungan di Pulau Wawonii dan Obi.
Pemerintah juga diminta untuk memeriksa dan mengaudit seluruh aliran dana PT Harita Group serta memeriksa pemerintah daerah dan KLKH RI sebab diduga ada penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi yang bermuara pada dugaan Tindak Pidana korupsi Sumber Daya Alam, Dugaan Kejahatan Perusakan hutan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Dalam waktu dekat ini kami secara kelembagaan akan mendatangi Mabes Polri, KPK RI, BPK RI dan Komnas HAM untuk melaporkan sejumlah dugaan kejahatan pidana yang melibatkan oknum PT Harita Group dan oknum Pemerintah termasuk oknum dijajaran KLHK selaku yang berwenang menerbitkan IPPKH Eksplorasi maupun Eksploitasi terhadap PT Harit Group melalui anak perusahaannya. Kami juga akan melaporkan masalah ini ke DPR RI agar mendapat atensi prioritas.” Tutup Ali