suarakarsa.com — Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan terhadap Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta terkait penanganan kasus dugaan pemerasan yang menjerat eks Ketua KPK, Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri.

“Menimbang, praperadilan yang diajukan para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima,” kata Hakim Lusiana Amping dalam putusannya, Rabu (18/12).

Hakim menyatakan, gugatan tidak diterima karena kasus dugaan pemerasan tersebut masih dalam tahap penyidikan. Bukti yang diajukan pemohon, seperti tautan berita, dianggap tidak cukup untuk membuktikan penghentian penyidikan oleh Polda Metro Jaya dan Kejati DKI Jakarta.

“Bukti yang diajukan hanya berupa link berita, dan tidak mendukung dalil bahwa terjadi penghentian penyidikan,” jelas Hakim Lusiana.

Sementara itu, pihak termohon juga tidak memiliki bukti yang menunjukkan adanya penghentian penyidikan kasus dugaan pemerasan, suap, dan gratifikasi yang melibatkan Firli Bahuri.

Gugatan terhadap Polda Metro Jaya dan Kejati DKI Jakarta dilayangkan oleh Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) serta Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Gugatan ini terdaftar dengan Nomor 116/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL.

Menurut Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, proses penyidikan terhadap Firli yang ditetapkan sebagai tersangka pada 22 November 2023 belum menunjukkan perkembangan berarti meski hampir satu tahun berjalan.

“Penyidikan yang berlarut-larut ini jelas merugikan korban tindak pidana korupsi karena tidak ada kepastian hukum dan keadilan,” ujarnya.

Firli Bahuri diduga melakukan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ia dijerat dengan Pasal 12 e dan/atau Pasal 12 B dan/atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Namun, proses hukum terhadap Firli terhambat. Berkas perkara dua kali dikembalikan oleh Kejati DKI Jakarta ke Polda Metro Jaya karena dianggap belum lengkap. Kondisi ini memicu kritik terhadap lambannya penanganan kasus, yang dinilai bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berharap keputusan ini dapat menjadi pijakan bagi para pemohon dan termohon dalam memastikan proses hukum berjalan sesuai koridor yang berlaku.