Teks

Indonesia Siap Hadapi Serangan Dunia Terkait Program Hilirisasi

JAKARTA-Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) buka suara perihal serangan dari dunia internasional terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khususnya terkait larangan ekspor mineral mentah dan hilirisasi di dalam negeri.

Terbaru, Uni Eropa meluncurkan konsultasi Penegakan Aturan atau Enforcement Regulation untuk melakukan konsultasi kepada industri-industri yang dirugikan atas kebijakan pemerintah Indonesia.

Jika terbukti merugikan, Uni Eropa akan melakukan pembalasan, salah satunya dengan menerapkan bea masuk barang-barang dari Indonesia.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengungkapkan bahwa pihaknya tidak mempersoalkan perihal Uni Eropa yang mempersiapkan ‘serangan’ baru dalam bentuk Enforcement Regulation.

Menurutnya, Indonesia sudah mengikuti proses yang ada di WTO yang mana Indonesia pun sudah mengajukan banding atas kekalahan pada gugatan pertama Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Iya saya sudah lihat tadi (Uni Eropa luncurkan Enforcement Regulation), gak apa-apa. Nanti kalau dia lakukan itu, kita nanti lihat lagi. Kan kita juga harus under process yang ada di WTO. Kan kita banding,” kata Seto ditemui di sela acara “Nickel Conference 2023” CNBC Indonesia di Jakarta, beberapa saat lalu.

Baca Juga  Baru Bergabung di PSI, Kaesang Sudah Digadang Jadi Ketua Umum

Seto pun menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan tetap konsisten dalam mengikuti proses yang ada dan terus memberlakukan kebijakan larangan ekspor mineral mentah, khususnya nikel.

“Sampai keputusannya final ya kita gak perlu ubah kebijakan kita,” tambahnya.

Namun rupanya, tidak hanya gugatan Uni Eropa di WTO yang menyerang kebijakan Pemerintah Indonesia. Ada sederet serangan dunia yang tidak terima atas kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah Indonesia. Berikut sejumlah “serangan” dunia terhadap kebijakan larangan ekspor mineral mentah dan hilirisasi RI.

Produk nikel Indonesia melalui hasil hilirisasi di dalam negeri dikucilkan Amerika Serikat (AS). Dikucilkan dalam arti tidak masuk dalam pemberian insentif hijau yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) AS.

Melalui IRA, AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Baca Juga  Jokowi: Kumpulin Pajak Sulit Malah Dipakai Buat Beli Produk Impor

Namun demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.

“Kita ini dihambat terus, termasuk soal IRA (Kebijakan AS). Sebenarnya posisi kita enak untuk melawan, karena mereka sedang sibuk dengan geopolitik masing-masing,” ungkap Jokowi di Istana Negara.

Indonesia Dijegal
Produk dari hilirisasi nikel Indonesia yakni iron steel terkena ‘jegal’ oleh Uni Eropa. Negara-negara gabungan barat itu mengenakan trade barrier yang memberikan dampak tidak dapatnya anti dumping dan anti subsidi atas produk iron steel Indonesia.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.

IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.

“Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini,” kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Selasa (27/6/2023).

Baca Juga  Garuda Indonesia Proyeksikan Pertumbuhan Frekuensi Penerbangan Hingga 32%

Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.

“Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif,” tambahnya.(SW)