Karen Bantah Korupsi, Mengaku Kebijakannya Untungkan Negara Rp1,6 T

JAKARTA – KPK mengatakan kerugian negara akibat dugaan korupsi yang dilakukan mantan Dirut PT Pertamina, Karen Agustiawan, dalam pengadaan liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair di Pertamina sebesar Rp 2,1 triliun.

Namun, Karen mengklaim negara justru mengalami keuntungan senilai Rp 1,6 triliun. Karen membantah soal kerugian negara itu karenanya. Dia menyebut kerugian itu karena pandemi COVID-19.

Bacaan Lainnya

“Kalau tadi dibilang marak ada kerugian, kerugian itu diakibatkan karena masa pandemi di tahun 2020 dan 2021,” kata Karen di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9).

Karen mengklaim Pertamina tidak mengalami kerugian dari pengadaan LNG. Dia justru menyebut pada 2018 Pertamina mengalami keuntungan.

“Karena berdasarkan dokumen yang ada tahun 2018 Oktober, Pertamina bisa menjual ke BP dan Sentrafigura dengan nilai positif 71 cent per mm BPU,” jelas Karen.

Baca Juga  Rugikan Negara Senilai 104 T, Surya Darmadi, Pemilik PT. Duta Palma Jalani Sidang Korupsi

Dari laporan yang diterimanya, Karen menyebut Pertamina untung Rp 1,6 triliun dari penjualan LNG.

“Saya tidak tahu, tetapi year-to-date sekarang, dari mulai first delivery 2009, sampai 2025 itu sudah untung Rp 1,6 triliun,” katanya.

Tak hanya itu, Karen juga membantah tidak mendapatkan restu dari pemerintah terkait pengadaan LNG. Dia mengatakan kebijakannya itu dilakukan karena mengikuti perintah dalam korporasi.

“Saya ingin menjelaskan bahwa aksi korporasi ini dilakukan untuk mengikuti perintah jabatan saya berdasarkan Perpres 2006 terkait energy mix bahwa gas harus 30 persen. Terus inpres Nomor 1/2010 dan Inpres 14 tahun 2014,” jelas Karen.

Sementara itu sebelumnya dalam konferensi pers yang digelar, Selasa (19/9/2023), Ketua KPK Firli Bahuri menyebutkan dugaan tindak pidana korupsi LNG Pertamina itu terjadi pada periode 2011-2021. Karen diketahui menjabat Dirut Pertamina periode 2009-2014.

Baca Juga  Mahfud sebut Pidana Pencucian Uang Lebih Berbahaya Ketimbang Korupsi

Karen diduga membuat kebijakan yang keliru dalam pengadaan LNG di Indonesia. Kebijakan itu kemudian menimbulkan kerugian keuangan negara.

“Dengan bukti permulaan yang cukup sehingga naik pada tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka, GKK alias KA. Direktur Utama PT Pertamina Persero tahun 2009 sampai dengan 2014,” kata Firli.

Kasus ini berawal dari adanya rencana pengadaan LNG yang dilakukan Pertamina pada 2012. Karen kemudian menjalin kerja sama dengan sejumlah produsen dan supplier LNG yang berada di luar negeri.

Salah satu perusahaan yang ditunjuk Karen ialah Corpus Christi Liquefacition (CCL) LLC Amerika Serikat. KPK menilai penunjukan yang dilakukan Karen bermasalah dan tanpa melakukan pengkajian menyeluruh.

“Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero,” ujar Firli.

Karen, kata Firli, juga dianggap tidak mendapatkan restu dari pemerintah saat menjalankan kebijakan pengadaan LNG di Indonesia.

Baca Juga  Korupsi Di ESDM, Tukin Rp 1,3 M Disulap Jadi Rp 29 M

“Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dari persetujuan pemerintah saat itu,” tambah Firli.

Firli mengungkap kebijakan yang dilakukan Karen itu membuat negara merugi. Kerugian itu akibat tidak terserapnya LNG yang dibeli dari CCL Amerika Serikat hingga membuat oversupply.

LNG yang telah dibeli itu lalu dijual dengan harga murah. “Atas kondisi oversupply tersebut berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero,” jelas Firli.

KPK pun kemudian menetapkan Karen sebagai tersangka. Firli menyebut kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 2,1 triliun.

“Dari perbuatan tersangka itu menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD 140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun,” katanya.(SW)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *