“Sepanjang bisa dibuktikan ada kesepakatan di antara orang itu untuk melakukan tindak pidana seperti yang ada di dalam Pasal 111, 112, atau 114 misalnya, itu sudah cukup,” imbuhnya.
Hakim kemudian menanyakan pendapat Eva mengenai apabila setelah adanya permufakatan jahat, salah satu pihak yang dominan mencabut perintahnya. Eva pun menjawab hal itu dapat diperhitungkan. Namun Eva menegaskan bahwa permufakatan jahat tetap merupakan tindak pidana.
“Dalam rangka permufakatan jahat itu ada yang dominan, pengatur misalnya, atau yang mendorong. Kalau seandainya setelah adanya permufakatan ini, pemeran dominannya mencabut kembali perintahnya, bagaimana pendapat ahli?” tanya hakim.
“Bahwa yang dirumuskan di dalam UU adalah perbuatan yang dilarang, saya kira itu bisa menjadi faktor di luar hukum yang bisa diperhitungkan nanti untuk melihat berat ringannya mens rea atau kesalahannya. Tetapi tetap perbuatan itu adalah salah dan merupakan tindak pidana,” jawab Eva.
Tinggalkan Balasan