Teks
PT. Andala Bintang Sarana - Selalu Ada - PT. Andala Bintang Sarana - Selalu Ada - PT. Andala Bintang Sarana - Selalu Ada - PT. Andala Bintang Sarana - Selalu Ada -

Kebijakan Investasi Pertambangan Indonesia Minim Kualitas

Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM). Pho. KONTAN/Achmad Fauzie/29/01/2015

Oleh: Ali Aludin Hamzah (Sekretaris Jendral Aliansi Nusantara Hijau)

Investasi sektor pertambangan mineral, batubara dan migas telah memasuki babak baru setelah melewati berbagai sosialisasi dan realisasi yang menurut pemerintah dinamis dan lebih baik dari sebelumnya baik dalam menarik investasi asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN).

Bahwasanya pemerintah mencatat telah terjadi peningkatan yang signifikan pada realisasi investasi sektor pertambangan dari tahun ketahun misalnya, pada realisasi investasi sektor pertambangan antara tahun 2022 dan 2023 dimana tercatat realisasi investasi sektor pertambangan pada kuartal IV-2022 tembus 39,8 Triliun, meningkat pada kuartal III tahun 2023 menjadi 41,9 Triliun

Meski demikian kualitas realisasi investasi pertambangan di Indonesia patut dipersoalkan sebab belakangan ini muncul berbagai masalah yang berkaitan dengan realisasi investasi pertambangan di Indonesia diantaranya ialah maraknya kasus korupsi, kriminalisasi, penyerobotan dan perampasan lahan, konflik sosial atau agraria serta terpenting ialah kasus pencemaran lingkungan yang erat kaitannya dengan kemanusiaan dan keanekaragaman hayati.

Sejumlah evaluasi terhadap kinerja pemerintah itu menunjukan adanya kejanggalan dan kecenderungan yang sengadja dipertahankan oleh pemerintah kaitannya dengan investasi sektor pertambangan. Pemerintah dalam agenda tata kelola sumber daya pertambangan cenderung mengejar keuntungan atas manfaat penjualan produk pertambangan dibandingkan mengatasi masalah kerusakan lingkungan dan lemahnya penegakkan hukum dampak dari ekspansi kegiatan pertambangan.

Walaupun kebijakan investasi terlihat positif sebagaimana pendekatan negara moderen sekarang ini, akan tetapi mengesampingkan tata kelola lingkungan hidup dan penegakkan hukum dalam realisasi investasi dan eksploitasi ekstraktif itu adalah langkah mundur yang secara langsung memperlihatkan minimnya kualitas investasi pertambangan baik konsep maupun penerapannya.

Secara konsep terdapat pertarungan dalam kewenangan perizinan sektor pertambangan antara pusat dan daerah terlihat dari beberapa perombakan pasal dan undang-undang atas kewenangan Izin Usaha pertambangan yang masih terasa hingga sekarang dimana masih memungkinkan meningkatnya ego sektoral atas pengelolaan dan pemanfaatan potensi pertambangan sekaligus mempengaruhi kualitas kerja-kerja pertambangan dilapangan.

Fenomena itu diperburuk oleh tumpah tindih regulasi dan kewenangan antar lembaga pemerintah kaitannya dengan urusan sektor lingkungan hidup dan pertambangan sehingga memicu ragam masalah termasuk masalah kerumitan dalam pengawasan terhadap realisasi investasi pertambangan.

Baca Juga  Gagas Perseroan Perorangan, Kadin Sultra Dorong Peningkatan Kapasitas Pelaku UMKM

Hal lain yang kurang di tonjolkan oleh pemerintah dalam kebijakan investasi pertambangan nasional ialah tentang investasi terhadap industri pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Terbukti sejauh ini sebagian besar industri yang ada memiliki kelemahan pada aspek ini diantaranya sebagian besar investor pertambangan tidak ingin terbebani pada investasi dan industri dan manajemen pembuangan limbah beracun yang umumnya digunakan dan dihasilkan oleh kegiatan pertambangan.

Fenomena janggal ini menjadi lumrah sebab pemerintah sendiri kurang menaruh perhatian pada aspek investasi, industri serta produksi limbah pertambangan sebagai objek utama penyebab terjadi polusi. Padahal diketahui limbah industri pertambangan yang dihasilkan perhari oleh kegiatan pertambangan bisa mencapai ratusan metrik ton sebagai contoh PT. Freeport Indonesia oleh karena tidak memiliki industri pembuangan limbah yang memadai terpaksa mengalirkan tailing sebanyak 167 juta metrik ton perhari melalui empat sungai yang menjadi sumber air dan mata pencaharian masyarakat adat sekitar. Sungai itu yakni sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa dan Minajerwi. Akibatnya masyarakat sekitar terdampak polusi pertambangan baik pada air, tanah dan udara hingga sekarang. Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh atau Lepemawi, Adolfina Kuum, dalam laporannya mengungkapkan PT Freeport Indonesia diketahui membuang limbah tailing sejauh ini sebanyak 3.000 ton ke Sungai Ajikwa atau Wanogong di pesisir Mimika yang di area itu ada 23 kampung, dan enam ribu penduduk dari data statistis 2020 yang berdomisili di tiga Distrik yang terkena dampak langsung.

Kondisi tersebut menjadi sangat miris dan memprihatinkan sebab bisa dipastikan sebagian besar industri pertambangan di Indonesia tidak memprioritaskan investasi industri pembuangan limbah oleh karena pemerintah sendiri terlihat membiarkannya.

Padahal jika pemerintah sungguh-sungguh dalam membangun industri pertambangan ramah lingkungan harusnya pemerintah wajib memperhitungkan dan mendorongnya sejak tahapan investasi bukan justru pada tahapan kegiatan produksi hingga penjualan produk pertambangan. Paling tidak pemerintah tegas dan berbicara lantang terhadap para investor bahwa pentingnya tanggungjawab limbah industri untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Baca Juga  Lewat Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh Vol. 7, Kementan Wujudkan Pertanian Ramah Lingkungan

Pada aspek lain, pemerintah kerap kali membiarkan pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan berlangsung secara membabi buta dan kerap tanpa melibatkan masyarakat adat oleh pelaku usaha pertambangan itu sendiri. Hingga bahkan pemerintah sendiri juga lemah dalam mengawasi tahapan reboisasi dan reklamasi paska tambang. Alih-alih mengawasi tahapan investasi hingga paska tambang dengan baik, praktek pertambangan ilegal (Ilegal Mining) dibawah pengawasan pemerintah justru masih belum kunjung tuntas diberantas.

Alhasil pemerintah dalam upaya mitigasi kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan cenderung menunggu masalah datang ketimbang merekonstruksi sumber datangnya masalah.

Sehingga demikian tidak keliru jika masalah lingkungan hidup ditengah ekspansi industri ekstraktif semakin hari semakin menjadi jadi dan terus menambah daftar kerusakan lingkungan hidup oleh karena sumber masalahnya ada pada minimnya kualitas konsep maupun penerapan oleh pemerintah.

Kesimpulan

Kebijakan investasi beserta Hilirisasi sektor pertambangan sejatinya merupakan langkah maju, tetapi kalau kemudian mengabaikan masalah kerusakan lingkungan hidup sama hal merupakan tindakan yang sengadja membunuh masyarakat lingkar tambang secara perlahan terutama karena dampak negatif yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan dimana tidak sekadar menciptakan ketidakadilan terhadap pemanfaatan lingkungan hidup bagi manusia dan keanekaragaman hayati tetapi juga menyebabkan meningkatnya panas bumi, pemiskinan sosial, budaya serta Ekomoni masyarakat-masyarakat terutama bagi petani dan nelayan.

Harus disadari oleh pemerintah hari ini adalah bahwa negara besar ini merupakan negara adat yang semua masyarakatnya baik diperkotaan maupun di pedesaan lahir dan tumbuh dalam keyakinan, tradisi dan adatnya masing-masing yang unik. Pola hidup menyatu dengan alam kehidupan merupakan sebuah fondasi yang lahir dalam peradaban yang panjang di Nusantara ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa alam adalah ibu yang tak terpisahkan, menunjukan betapa kuatnya perhatian masyarakat adat terhadap lingkungan hidup itu sendiri.

Bagi sebagian besar masyarakat adat, melihat kepentingan ekonomi penting terutama ditengah meningkatnya pajak dan kebutuhan hidup masa kini. tetapi dorongan atas konsep gotong royong yang menjadi falsafah hidup masyarakat adat di bangsa unik ini juga harusnya tidak dianggap sebagai sesuatu penghambat melainkan sebuah potensi besar yang bisa menjadi ujung tombak utama kelangsungan lingkungan hidup dan sumber daya alam Nusantara karenanya perlu dipertahankan sebab berkaitan dengan ciri khas bangsa ini. Mengambil hasil alam secukupnya adalah cara hidup ekonomis masyarakat adat yang telah berlangsung secara turun temurun hanya saja kapitalisme memperumit penguatan ideologi dan penerapannya sehingga seperti terjadi sekarang.

Baca Juga  Oppo A58, Menjelajahi Spesifikasi Terperinci dari Smartphone Unggulan

Sebagai ujung tombak pembangunan nasional, pemerintah agar tidak terjebak pada pola pola ekonomi kapitalistik termasuk dalam agenda tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam melainkan pole ekonomi pembangunan Pancasila sebagaimana yang telah disarankan oleh berbagai pihak sebab hal itu sejalan dengan konsep masyarakat adat moderen ala bangsa ini.

Pemerintah perlu mempertegas kembali konsep dan haluan ideologi pembangunan Pancasila diberbagai lini pembangunan termasuk pada sektor pertambangan dan lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya gotong royong sebagaimana selaras dengan ciri khas dan kultur yang dimiliki pada masyarakat ini.

Dalam hal tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam pemerintah juga perlu merekonstruksi kajian dampak lingkungan hidup termasuk mendorong industri pertambangan hijau; memperhatikan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sektor pertambangan serta memastikan pemanfaatannya yang berkeadilan untuk menunjang peningkatan taraf hidup, mendorong investasi pembuangan limbah industri pertambangan yang memadai untuk mengurangi kerusakan lingkungan.

Wallahu Alam