Indonesia Kalah di Peradilan Internasional Terkait Larangan Ekspor Biji Nikel

JAKARTA – Langkah Indonesia menyetop ekspor biji nikel harus terhalang oleh keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia kalah di peradilan internasional terkait larangan ekspor biji nikel.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut WTO mengalahkan Indonesia dalam sengketa gugatan larangan ekspor nikel yang diajukan oleh Uni Eropa.

Bacaan Lainnya

Arifin mengungkapkan bahwa alasan Indonesia kalah dari Uni Eropa dalam gugatan itu yaitu Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.

“Memutuskan bahwa kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral (nikel) dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO,” katanya dalam rapat kerja Komisi VII DPR, beberapa waktu lalu..

Baca Juga  Tak Hanya Berdampak Positif, Berikut 5 Dampak Negatif Teknologi Bagi Para Pelajar

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah berupaya menyetop ekspor bahan mentah, salah satunya bijih nikel. Ia berulang kali menyampaikan bahwa dengan hilirisasi, Indonesia akan menjadi negara maju.
Ia memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh pada 2030 jika kebijakan berhenti mengekspor bahan baku mentah berlanjut.

Orang nomor satu RI itu juga menyebut jika kebijakan ini diteruskan, Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat pada 2045.

Namun, langkah Indonesia menyetop ekspor nikel harus terhalang oleh keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut WTO mengalahkan Indonesia dalam sengketa gugatan larangan ekspor nikel yang diajukan oleh Uni Eropa.

Beberapa regulasi atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan WTO, antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Baca Juga  Opini: Nilai Tukar Rupiah Tembus Angka 16 Ribu Per Dolar AS, Pemerintah Harus Segera Mengambil Sikap

Lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Nantinya, laporan akhir akan didistribusikan kepada anggota WTO lain pada 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda Dispute Settlement Body (DSB) pada 20 Desember 2022.

Meski kalah, Arifin mengatakan pemerintah tak akan menyerah. Ia menegaskan Indonesia siap mengajukan banding atas putusan itu.

“Pemerintah berpandangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga masih terdapat peluang untuk appeal atau banding. Pemerintah juga tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang tidak sesuai sebelum keputusan diadopsi oleh Dispute Settlement Body,” jelasnya.

Baca Juga  Gunung Merapi Erupsi, Masyarakat Diminta Waspada dan Mengungsi ke Daerah Aman

Tak hanya soal kalah gugatan, nikel Indonesia juga dibayangi kuasa investor China yang disebut mencapai 90 persen. Setidaknya hal itulah yang disampaikan anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Demokrat Zulfikar Hamonangan.

Ia menegaskan meski ada larangan ekspor bahan mentah, faktanya jika dicek di lapangan ada proses ekspor nikel besar-besaran. Zulfikar pun menyinggung China mengantongi pendapatan Rp450 triliun per tahun hasil dari nikel di Indonesia.

“90 persen tambang nikel yang ada di Indonesia itu dikuasai China, Bahkan, benar atau tidaknya, pajaknya pun dibebaskan 30 persen. Ini kebijakan-kebijakan yang aneh. Sementara, perusahaan-perusahaan pribumi banyak tersingkirkan, izin-izin mereka dicabut,” katanya kepada Menteri ESDM.(SW)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *